Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi(RUU APP) yang dibahas beberapa tahun yang lalu masih meuai pro kontra hingga saat ini. Meski minoritas, para penolak RUU APP tampaknya berusaha optimal –dengan dukungan media-media massa secular– untuk membangun bahwa opini RUU APP tidak layak diundang-undangkan. Bahkan disinyalir, pihak asing dan para kapitalis, diam-diam akan mengintervensi RUU APP ini. Betulkah seperti itu?. Itulah beberapa pernyataan yang ingin kita ketahui.Amat disayangkan meski sudah begitu jelas dan nyata kontribusi pornografi dan pornoaksi terhadap kerusakan moral masyarakat, kalangan sekularis negeri ini bersikeras menolak Rancangan RUU APP. Sehingga sampai sekarang RUU itu masih belum bisa disahkan, masih mengantung. HTI bersama umat berusaha untuk melakukan pengawalan terhadap RUU APP ini dengan mengkampanyekan :”berantas Pornografi Pornoaksi, wujudkan Indonesia bermatabat!” . HTI bersama umat berusaha agar RUU APP selamat diundang-undangkan; selamat dari berbagai upaya pihak tertentu yang hendak menggagalkannya dan menyimpangkan dari isi dan hakikatnya, yakni melindungi masyarakat Indonesia-yang mayoritas muslim- dari bahaya pornografi dan pornoaksi. Apalagi dalam perspektif Islam, pornografi dan pornoaksi merupakan bentuk kemaksiatan yang harus dicegah dan dilarang yang keji dan terlarang juga dapat mendatangkan Azab dari Allah(beliau menyitir surat Al-Isra 32 dan Surat Al-Anfal:25).Banyak hal yang menghambat disahkan RUU APP ini. Diantaranya adalah definisi yang tak jelas, peruntukannya dalam ritual dan seni, juga pelestarian budaya local. Definisi yang samar tentang pornografi dan pornografi terjadi karena landasan dan perspektif yang digunakan tidak sama. Perspektif kaum sekularis menyatakan bahwa, tidak dikatakan pornografi jika perbuatan yang mengandung erotica, ekspos alat kelamin dsb itu ada penghargaan dan/atau tidak dirasakan ada subordinasi pengesploitasian disana. Cara pandang individualistic ini benar-benar menafikkan dampak kebebasan individu terhadap keselamatan komunitas masyarakat.perlindungan terhadap ambisi perempuan(atas nama Hak Asasi Manusia)dalam berekspresi, mengaktualisasi diri, atau memilih profesi dimenangkan atas perlindungan terhadap generasi manusia, harkat dan martabat bangsa.Tak hanya itu, keterhambatan pengesahan RUU APP ini juga terjadi karena kemenangan para pemilik modal atas silent majority. Betapa tidak dari 167 ormas yang datang ke DPR, menurut pansus DPR, hanya 10% yang menolak RUU APP, cukup representative mayoritas rakyat Indonesia. Mestinya menurut logika demokrasi, RUU ini dapat disahkan. Namun ternyata suara terbanyak itu ditentang oleh para penikmat dan pelaku bisnis hiburan dan seks-yang jumlahnya hanya beberapa persen-yang notabene mereka para kapitalis yang hanya bermuara pada kepentingan bisnis semata, tanpa mau melihat secara jernih dan jujur akibat buruk dari pornografi dan pornoaksi. Dari sini mestinya umat belajar banyak tentang kebobrokan demokrasi. Demokrasi menentukan halal-haram dan baik-buruk berdasarkan hawa nafsu dan pendapat manusia. Demokrasi hanya berpihak pada siapa yang paling berkuasa-saat ini para pemilik modal-. Demokrasi mencampakkan kebenaran firman Allah atas nama seni, budaya dan pariwisata. Suara terbanyak sebagai penentu kebijakan hanyalah slogan. Memang tidak dapat dipungkiri para penolak RUU APP yaitu mereka para pengemban dan pejuang sekularisme, tak pernah rela jika agama(baca:Islam) dijadikan sebagai aturan kehidupan public, bermasyarakat, dan bernegara. Jika bukan, mereka adalah golongan oportunis yang menjalankan berbagai upaya demi meraih benefit materi. Kucuran dana atau iming-iming kedudukan dan jabatan dapat menjadi arah perjuangan vkelompok ini. Diluar itu adalah mereka yang terprovokasi oleh dua kelompok ini.Banyak alasan yang mereka ungkapkan untuk menolak RUU APP ini, diantaranya yakni RUU APP menjadi diskriminasi perempuan-biasanya dilontarkan kaum feminis-. Argumentasi ini jelas keliru karena pemberantasan pornografi-pornoaksi justru memuliakan perempuan; bebas dari komoditisasi demi keuntungan pelaku bisnis; bebas dari pandangan sex oriented dalam mengukur prestasi perempuan.Alasan lainnya, matinya seni, adat/tradisi seperti tradisi pemakaian pakaian “kemben” di Bali dan tradisi“koteka” di Papua yang sering dijadikan contohkan oleh mereka. Padahal dengan pemberantasan pornografi dan pornoaksi, seni, adapt dan tradisi pasti berkembang dalam bentuk yang bermartabat . misalnya sudah terbukti pada masa Islam dapt disaksikan keindahan seni arsiktektiur yang berkembang. Adat/tradisi pun berkembang menjadi bentuk tradisi manusia beradab.berkoteka tak selamanya harus dibiarkan hanya dengan alasan pelestarian budaya dan mensukseskan program pariwisata. Padahal sector pariwisata tak harus menjual pornografi dan pornoaksi. Katakana pulau Bali, misalnya, sesungguhnya dikenal karena keindahan alamnya dan bukan pornografi pornoaksi penduduknya.patut dicermati bahwa bahaya yang disebarkan oleh wisatawan yang menebar pornografi dan pornoaksi di Bali jauh lebih besar dari pada pendapatan daerah yang hanya bernilai materi. Menghitung bahaya non materi seperti kerusakan moral, penyebaran penyakit menular seksual, hingga HIV AIDS dan lain-lain.Alasan lain yang mereka ungkap adalah bahwa wilayah pornografi dan pornoaksi bukan wewenang Negara. Negara menurut mereka, tak berhak mengatur moral, karena ini wewenag tokoh agama. Tampak sekali argumentasi ini berlandaskan sekularisme yang sejak lahirnya memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Negara tidak boleh mengunakan agama sebagai landasan pengaturan urusan rakyat. Hal ini sangat tidak wajar. Bukankah Negara mestinya berperan mewujudkan masyarakat beradab?Dan hambatan yang kuat dan terstruktur justru datang dari pihak asing. siapapun yang jeli menelusuri agenda pelestarian lifestyle(gaya hidup), diantaranya hidup sebagai penikmat pornorafi dan pornoaksi, akan dapat meyakini adanya intervensi pihak aasing. Disadari atau tidak, asing melalui kaki tangannya sangat berkepentingan dalam hal ini. Asing sebagai pemimpin peradapan tak akan rela kehilangan hegemoninya terhadap dunia ketika(negeri-negeri kaum muslim). Oleh karena itu, apapun yang dapat menghalangi bangkitnya dunia Islam pasti mereka tempuh. Diantaranya memalingkan perhatian anak bangsa dari persoalan utama bangsa dengan menyibukkan mereka dengan aneka permainan dan hiburan. Dan dapat dilihat, tak satu pun jenis permainan dan hiburan berskala global yang steril dari unsur pornografi dan pornoaksi.Motif ideologis dibalik intervensi asing ini memang sangat kental. Sipilis(sekularisme, pluralisme, dan liberalisme)menjadi jiwa yang mendasari perjuangan penjegalan RUUAPP. Agenda liberalisasi So, kita harus waspada terhadap setiap upaya asing menancapkan liberalismenya. Dan lita berharap bahwa mengawal RUU APP ini fokusnya bukan hanya sekedar mengolkan, tetapi membrantas pornografi dan pornoaksi dalam mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Artinya RUU ini hanya menjadi salah satu upaya dalam tataran kebijakan. Sulosi totalnya tentu saja terkait dengan banyak hal yang pada akhirnya harus ada solusi pada tataran system. Sistem yang dapat membawa rahmat bagi seluruh Alam.
(termuat di majalah AKBAR edisi bulan oktober 2008)

0 komentar:
Posting Komentar