Kamis, 16 Oktober 2014
Kartini, antara Mitos dan Realitas
Bulan april sering diidentikan dengan sosok seorang Kartini. Dia digambarkan sebagai sosok yang monumental, bersemangat memperjuangkan kaum perempuan. Sosok yang dikagumi banyak orang, sampai harus ada hari khusus untuk memperingati kelahirannya.
Dia symbol perjuangan emansipasi perempuan Indonesia, symbol kepahlawanan nasional, symbol pembebasan buta huruf bagi kaum perempuan, symbol keteladanan ibu, symbol rasionalitas budaya, symbol moderasi agama, dan berbagai symbol yang telah disandangkan padanya.
Raden ajeng Kartini lahir diJepara 21 April 1879. Dia bagaikan srikandi yang gaungnya menyebar seantero nusantara. Penggambaran sosok Kartini di tengah-tengah masyarakat, dipresepsikan segalanya ada pada Kartini. Mulai dari penguasaan ranah privat sampai keranah public. Sehingga, April menjadi momen dimana semangat perjuangan perempuan kembali di bangkitkan untuk mendorong perempuan Indonesia menyamakan hak atau menjajarkan perannya dengan kaum pria. Maka, dengan pemikiran seperti itu menjadikan mereka, para perempuan bersemangat menempati posisi-posisi yang biasanya didominasi pria.
Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesia pun terdorong untuk senantiasa mencari peluang karier setinggi-tingginya tanpa peduli harus mengorbankan keluarga maupun harga dirinya. Benarkah semua ini sejalan dengan perjuangan Kartini?
The real Kartini tidaklah sejauh yang dipresepsikan selama ini, meski dalam beberapa hal Dia tidak dapat dipungkiri telah banyak berbuat untuk kaumnya. Ia juga berada dilevel rata kaumnya pada saat itu. Tapi memitoskan Kartini sebagai sosokj perempuan yang menuntut dan berjuang membela hak-hak asasi perempuan atas dasar penyetaraan gender, perlu dikaji ulang.
Agaknya kesimpulan ini terlalu terburu-buru. Jangan sampai kita mengenalnya hanya pada tataran memitoskannya dan menjadikan mitosnya lebih kuat dari fakta historisnya. Menempatkan sosok kartini secara proporsiaonal jauh lebih baik ketimbang memitoskannya.
Mengenal Kartini salah satunya adalah dengan membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini berisi surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Dalam buku ini kita bisa membaca pokok-pokok pikiran dan jalan hidup Kartini, meski awalnya Kartini sangat mengagumi dan menjadi corong ide Liberal di Eropa yang tidak dibatasi nilai-nilai trasdisi dan agama.
Ini dikarenakan intimnya Kartini dengan sahabatnya, Ny. R.M Ambedanon yang notabene seorang menteri pendidikan pemerintahan Hindia Belanda pada waktu itu. Ambedanon juga merupakan mata rantai partai sosialis di Belanda. Namun ketika Kartini mulai sedikit mengenal Islam, yang mendekatkannya pada Kyai Soleh Darat , Kartini justru mengingkari peradapan Eropa. Dia pun menyebut kehidupan Eropa sebagai kehidupan yang tak layak disebut sebagai peradaban. Bahkan, Ia menjadikan Islam sebagai landasan pemkirannya.
Hal ini terkutip dalam suratnya kepada Ambedanon, 27 Oktober 1902 yang isinya sebagai berikut : sudah lewat masamu,tadinya kami megira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-sarunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah ibu sendiri mengangggap masyarakat Eropa itu sempurna?dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik sesuatu yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?. Demikian juga dalam surat Kartini pada Ny. Va Kol, 21 Juli 1902 yang menggambarkan kekaguman pada Islam. Isinya ; moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.
Kartini memiliki cita-cita yang luhur , yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan. Dalam banyak suratnya, Kartini meminta kepada pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa saat itu untuk memperhatikan nasib pribumi denganmenyelenggarakan pendidikan terutama pendidikan bagi kaum perempuan.
Hal ini karena perempuanlah yang membentuk budi pekerti anak yang pertama dan utama. Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini pada Prof. Anton dan istrinya, 4 Oktober 1902. isinya : kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-lakidalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruh yang besar sekali bagi kaum wanita, agar lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
Hal ini menunjukan bahwa tidak ada keinginan Kartini mengejar persamaan hak dengan laki-laki dan meninggalkan perannya dalam rumah tangga. Dia hanya ingin perempuan mendapat haknya. Antara lain, menuntut pendidikan dan pengajaranbagi perempuan yang itu juga merupakan kewajiban dalam Islam, bukan berjuang untuk emansipasi sebagaimana diklaim para pengusung ide feminis bahwa Kartini adalah pejuang emansipasi.
Demikianlah, Kartini adalah sosok yang mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan pada fitrahnya. Maka kini jelaslah bahwa apa yang diperjuangkan aktivis gender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini.
Sejarah Kartini sudah kadung dimitoskan dan disalahgunakan sesuai kepentingan mereka. Dengan dalih kebebasan, kesetaraaan gender mereka menjauhkan umat muslimin dari agamanya.(dimuat di Koran Radar Jawa Pos 20 April 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lilik Istianah. Diberdayakan oleh Blogger.

0 komentar:
Posting Komentar