Attahiyatul mubarokatush sholawatu At toyyibatu lillah, Assalammu'alaika ayyuhan nabiyyu warohmatullah, Assalammu'alaina wa'alaibadillahishalihin Asyhaduanlaa illahaillallahu wa asyhadu anna muhammadar rosulullah Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad

Senin, 10 November 2014

Keringat Mbah Timah

Sore itu, saat saya sedang menemani anak saya jalan-jalan disekitar tegalan -maklum rumah saya ditengah-tengah tegalan-. Seperti biasa, sambil” momong”, saya senang sekali memperhatikan aktivitas orang yang lalu lalang dijalanan desa. Melihat aktivitas mereka adalah satu keasyikan tersendiri bagi saya, apalagi bisa dijadikan bahan tulisan seperti kali ini(he...he...)sambil sesekali menyapa mereka bila ku kenal. Ada mbah Saikun dan kang Warto yang tidak pernah absen pagi dan sore membawa bethek-nya(wadah tempat legen berbentuk tabung, biasanya terbuat dari bambu) untuk  menek bogor njukuk legen(memanjat pohon ambil siwalan/legen), ada para penjual sosis, cilok, pentol goreng, krupuk, es,dan  tak ketinggalan pula penjual barang rumah tangga yang membawa mobil pick-up dengan penawaran andalan sepuluh ribu tiga.....yang bergantian lewat  dan sering diteriaki anak saya yang baru belajar bicara”mbas..mbas...(tumbas/beli maksudnya),  ada juga riuh reda suara mbak-mbak yang baru pulang dari buyaran sebuah pabrik rokok di timur kota Tuban. ehmm.. memang benar-benar jalanan sore yang meriah...
Di antara keramaian lalu lalang jalanan desaku sore itu, pandanganku tertuju pada tiga orang wanita yang sedang memanggul karung (glangsing), terlihat usia mereka sudah sepuh(tua), mungkin setara dengan usia nenek saya. Dengan ramah mereka menyapaku, sambil tersenyum dan menganggukkan kepala” monggo mbak..” kubalas salam mereka dan kulakukan hal serupa”oh..njih monggo saking pundi?” kutanya tuk mengakrabkan diri.” Saking nyinden mbak...”..mereka pun berlalu dariku. Nguing...nguing... otakku mulai berkelap-kelip. Nyinden? apa ada hubungannya dengan sinden, orang yang bisanya menyanyikan lagu/gending jawa yang mengiringi pagelaran wayang?ah tak mungkin masak habis nyinden dandanan mereka seperti itu(bukan bermaksud meremehkan lho...). Eh... tiba-tiba ku mengingat sesuatu...tepatnya mengingat seseorang....ya Sebut saja namanya mbah Timah (bukan nama sebenarnya, maaf disensor untuk keamanan he...he..). Darinya  saya temukan  sesuatu yang berharga-yang nanti akan terjawab pula pertanyaan-pertanyaan saya diatas-.mbah timah dan berasnya...
Mbah Timah adalah seorang janda tua yang hidup sebatang kara dirumah gedhek reotnya disudut desa. Ketiga anaknya telah dewasa dan memilih pergi hidup berumah tangga  dan hanya terlihat sesekali saat lebaran tiba. Itu sepenggal cerita tentangnya, yang kudengar dari orang-orang....dan hari itu ku dipertemukan dengannya.
Mbah itu terihat tekun bekerja diantara beberapa laki-laki yang sedang memisahkan bulir biji padi dari batangnya,  yang aktivitas ini didesa saya disebut ngedos atau ng-gorok. Awalnya saya tidak tahu apa yang dilakukannya. Jongkok, menunduk disalah satu sudut sawah . sesekali ia terlihat diam. Lalu, tak berapa lama ia ambil damen yang dilempar-lempar sekenanya oleh para pekerja. Dan mengulangi hal yang sama.  Tubuhnya yang kurus bersembunyi dibalik kebayanya yang usang, rambut putihnya mulai menyembul dibalik kerudung kecil yang dipakai sekenanya yang sempurna senada dengan kain batik lusuh sebagai bawahannya, kakinya tak beralas dan terlihat kekar kasar menentang bumi.  saya berusaha mendekatinya...baru beberapa detik saya disana, terasa panas matahari membakar kulit. Tak terasa peluh dan panas tubuhku  membuyarkan konsentrasiku pada mbah Timah. Bagaimana mungkin udara yang panas dan matahari yang menyengat  tetap membuatnya nyaman berlama-lama disini?  
Kuhampiri mbah itu, hingga ku tepat berada didepannya. ”ewet nopo mbah?”tanyaku memulai pembicaraan. “oh...iki lho nduk lagi -nyinden! mundak gabahe nangis nduk, gabahe kudune melu mlebu nyang karung podo karo liyane, diselep, diadol nyang pasar, dimasak nyang omah. Gak ditinggal ngene. Makane iki dijupuki mbah ben gak nangis”. Tangannya terus bekerja memunguti bulir demi bulir  padi  dan memasukkan ke dalam kresek hitam yang kusam disampingnya. Padi itu ia pungut dari sisa-sisa bulir padi yang yang sudah diambil bijinya. kulirik kresek itu, dan tak banyak padi yang dikumpulkannya meski sudah hampir dua jam ia berjemur dibawah matahari.(dari sini sudah jelas kan apa nyinden itu...yaitu mengais sisa gabah dari batanganya yang sebelumnya sudah diambil pemiliknya )
Aku tertenggun, melihat wajah tua dihadapanku yang begitu tegar. Matanya sedikitpun tidak menggambarkan kegusaran. Bibirnya tersenyum tipis  dan ringan. Saat ia berkata bahwa beras yang dipungutnya berhak bahagia dengan masuk kedalam karung, Ia pun seakan-akan sedang berkisah tentang dirinya yang juga berhak bahagia dengan perhatian keluarganya dan orang-orang disekitarnya. Mbah Timah pasti telah berupaya sekuat tenaga , membanting tulang demi keluarganya.
Seperti halnya padi yang tumbuh perlahan diterpa hujan, berpayung mentari. Rela di pupuki berbulan-bulan berjuang bahkan demi manusia yang tak pernah dikenalnya. Perhatian mbah Timah pada padi-padi itu mungkin juga sebuah pengharapan. Berharap putra-putranya yang merupakan keluarga yang dimilikinya peduli dan memberikan hak kebahagian padanya. Berharap putranya mengingat segala peluh yang tertumpah saat meregang nyawa mengeluarkan meraka dari rahim hingga malam pongah menikahkan mereka. Sungguh tak ada manusia yang ingin hidup sendiri tanpa satupun yang  peduli.
Tiba-tiba ku jadi begitu trenyuh, kondisinya begitu berbeda dengan kondisi dibelahan tempat lain. Ditempatku dulu bekerja, nasi atau beras yang begitu mudahnya dibuang-buang. Bahkan diri ini menyadari begitu mudahnya saya memubadzirkan sesuatu, ingatanku melayang pada tempat-tempat dimana butiran bahkan karungan nasi dibuang percuma, dihajatan, dipesta-pesta, direstoran.... padahal bagi mbah Timah dan 3 wanita yang kutemui sore itu, satu biji beras begitu berharga....kuniatkan dalam hati, kuingin berusaha lebih peduli, berusaha bersyukur dengan apa yang ada dan tidak lagi mudah memubazirkan sesuatu karena ternyata disekitar kita masih banyak yang menantikan haknya.
Ah, mungkin juga perhatian mereka pada padi ini adalah pengharapan pada keluarganya, tetangganya yang hidup disekitarnya. Yang kenyang makan setiap hari dengan sayur yang tercium setiap pagi didapur-dapur mereka. Sebegitu burukkah ukhuwah kaum muslimin saat ini?lupa dengan empat puluh orang yang dikanan dan dikiri yang menjadi tetangganya. Kewajiban membantu sesama seakan harga yang sangat mahal untuk dibayarkan pada zaman kapitalis dan individualis seperti ini.
Atau.... mbah Timah  jangan-jangan sedang menjerit-jerit  memanggil penguasa negeri ini?yang tak memperdulikan seorang tua renta yang hidup jauh dari kesibukannya mengurusi negara. Tapi, bukankah mengurusi rakyat adalah urusan negara juga?mbah Timah begitu susah hanya untuk mendapatkan sesuap nasi setiap hari tanpa ada yang mengurusi. Bila tetangga tak mampu, bukankah negara yang wajib menanggung hidupnya?
Tanganku bergesas membantunya memunguti biji padi sisa itu, dan alam pikiranku menerawang pada puluhan abad yang silam, masa khalifah Umar Bin Khatab saat menjadi seorang kepala negara. Seorang pemimpin yang begitu takut ketika ada rakyatnya  terdholimi dengan kepemimpinannya, ia tak ingin kepemimpinan yang dipegangnya  menjadi pemberat pertanggungawaban amalnya dihadapan Allah kelak. Ia senantiasa mencari dan menelusuri pelosok negeri hanya untuk mencari rakyat yang membutuhkannya. Ia pun tak segan-segan memanggul gandum sendiri  untuk seorang Janda tua yang didengarnya tengah kelaparan karena tak punya makanan. 
Ah adakah pemimpin sekarang yang seperti itu?Jika ada,alangkah bahagianya.....saya, rakyat negeri ini dan mbah Timah tentunya menanti sosok penguasa seperti itu.  Sosok penguasa yang akan senantiasa menjaga amanahnya, yang memakai aturan/syariat Allah sebagai pedoman kemimpinannya dan dalam mengatur rakyatnya. Kapan ya?.
Read More
Lilik Istianah. Diberdayakan oleh Blogger.

© Pijar Bintang, AllRightsReserved.

Designed by @pangeransenja99